Tuntutan Pemohon
Lebih dahulu, Pemohon merasa sudah dirugikan hak konstitusionalnya akibat berlakunya norma Pasal 7 UUD 1945 menimpa terdapatnya pembatasan individu jabatan Presiden cuma boleh mendaftar serta ataupun terpilih buat 2(2) kali masa jabatan.
Kerugian tersebut bersumber pada asumsi Pemohon kalau orang yang kompeten buat jabatan Presiden cuma sedikit, sehingga pembatasan tersebut hendak menyebabkan pemimpin yang terpilih merupakan orang yang tidak berkompeten.
Berikutnya Pemohon memperhitungkan, ada kesalahan dalam bacaan Pasal 7 UUD 1945 tentang jabatan Presiden, baik kesalahan sebab penyusunan bacaan ataupun kesalahan dalam menguasai bacaan. Kesalahan secara implisit memiliki arti “apabila” ialah tercantum arti “Kondisional bersyarat”.
Bagi Pemohon, kesalahan diartikan sebab bacaan mengambang dalam pengertiannya. Dengan arti “kondisional bersyarat” tersebut hingga dibutuhkan peraturan tambahan buat memantapkan iktikad dari norma diartikan, sehingga secara totalitas arti utuh dari Pasal 7 UUD 1945 merupakan cuma diutamakan buat diresmikan 2(2) kali masa periode serta bila di idamkan, lewat pembiaran ataupun keputusan peradilan konstitusi ialah oleh Mahkamah Konstitusi.
Ada pula peraturan tambahan itu berbentuk Pasal 169 huruf n serta Pasal 227 huruf i pada UU Pemilu bagi Pemohon jadi pokok bawah dari terdapatnya pembatasan individu jabatan calon Presiden serta ataupun Wakil Presiden buat berprofesi lebih dari 2(2) kali masa jabatan baik secara berturut- turut ataupun berselang.
Sehingga, Pemohon berkomentar kalau pembatasan jabatan Presiden malah lebih besar mudarat dibanding khasiatnya sehingga norma yang mengendalikan pembatasan jabatan Presiden serta Wakil Presiden yang cuma 2(2) kali masa jabatan wajib dihapus. Dalam petitumnya, Pemohon memohon supaya Mahkamah mengabulkan permohonan buat melaporkan Pasal 169 huruf n serta Pasal 227 huruf i UU Pemilu berlawanan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.